Tak Selalu Ada

sebuah Cerita Inspiratif
oleh Mawar Wafa
Selamat Hari Raya Idul Fitri!!
Menurutku, semua orang sedang sibuk pada hari ini. Ada yang mempersiapkan kue-kue buatan mereka untuk menjamu para keluarga dan tamu yang akan datang, ada yang pagi-pagi sudah ribut, salah memilih baju lebaran, ada yang melah memilih mengurung dirinya, buat apa bertemu yang lain, ribet! dan aku lebih memilih bangun lebih awal, menyiapkan diri untuk shalat Ied berjamaah. Aku bersiap tidak lama, hanya menggunakan baju gamis pemberian bibi, mukenah, dan kaus kaki. Aku takut sepupuku lelah menunggu, karena kami sudah janjian untuk berangkat bersama. Benar saja! saat aku memeriksa ponsel, ternyata sepupuku sudah menelpon sejak tadi. Aku langsung buru-buru menjemputnya, karena memang rumah kami lumayan dekat.
Setelah dua tahun tidak merasakan shalat Ied berjamaah karena pandemi, hari ini akhirnya rindu itu terobati. Aku tidak bisa menahan tangis mendengar khutbah yang dibawakan khattib dengan tenang dan jelas. Beliau menjelaskan betapa beruntungnya orang-orang yang menjalankan puasa dengan hati lapang dan ikhlas. Betapa beruntungnya mereka yang Ramadhan dilaului dengan kegiatan-kegiatan positif. Seperti meramaikan malam dengan bertilawah Alquran, shalat Tahajud sebelum sahur, dan memilih menghabiskan waktu siang dengan membantu dan berbuat baik.
***
Semua berjalan lancar, aku bertemu dengan banyak saudara-saudara jauh. Berfoto, kemudian berebutan mendapatkan THR, kadang kami sedikit bertukan cerita. Aku merasa semua akan baik-baik saja. Sampai seorang tante menghampiriku. Mengajak aku makan bersama. Ikan goreng buatan bunda tentu menjadi favorit. Aku meng-iyakan. Duduk di samping tante yang bercerita banyak hal. Adik ayahku yang satu ini memang cerewet, nurun juga ke aku. Aku memang banyak bicara, semua orang mengenalku dengan “Anya yang banyak omong”. Percakapan kami sangat seru. Tante menceritakan masa kecil ayah dan dirinya. Bagaimana dulu kakek sangat tegas pada ayah, ayah yang paling rajin belajar, dan segala tentang ayah di bahas tuntas malam itu. Tanpa sadar, makanan kami ternyata sudah habis. Tante memintaku mencuci piring. Aku terdiam. Tidak langsung mengangguk. Piring akan aku cuci, tapi beberapa menit lagi. Setelah aku selesai mengecek ponselku. Beberapa pesan masuk, tapi aku belum membalasnya. Aku pikir tante tidak akan membahas lebih dalam masalah itu. Aku pikir tante bisa menunggu sebentar saja. Tapi, terdengar kecil namun sangat jelas aku mendengar, tante mengatakan aku pemalas. Diminta sedikit saja mengerjakan pekerjaan rumah, malah menunda, memilih memainkan ponsel. Astaga! aku yang cengeng ini, harus mendengar perkataan yang tidak enak itu. spontan menangis, dan membawa piring-piring kotor ke dapur. Aku akan mencuci sekarang. Aku masih menangis, sampai Om Andre menghampiriku, dengan pelan menyuruhku masuk ke kamar, istirahat. Om Andre memang memperhatikanku sejak awal. “Jangan di masukin ke hati, tante kan memang seperti itu, sudah! sana masuk kamar! nanti om yang lanjutin,”
Aku tidak menghiraukan. Setelah selesai, aku mengambil air wudhu, lalu shalat. Sambil menangis aku berdoa, minta agar Allah menenangkanku, agar Allah memberikan rasa ikhlas itu pada hatiku, aku sadar sekali bahwa hari ini bukan tangis karena kesal yang harus keluar, tapi tangis karena haru dan suka cita idul fitri. Aku juga sadar, bahwa apa yang terjadi tadi, tidak sepenuhnya salah tante, aku juga salah, mengapa tidak langsung menurut saja? mengapa tidak langsung ku kerjakan saja perintahnya.
***
Bunda berada di sampingku, ternyata beliau menyadari aku menangis. Aku sedikit malu. Kebiasaan, di awal aku biasa saja, tapi setelah menyadari aku menangis di hadapan bunda, aku jadi malu sendiri. Si anak sulung yang ternyata enggak sekuat itu, si anak sulung yang ternyata selalu nangis menghadapi masalah sepele. Bunda melihatku, tapi tidak bertanya, sama seperti ayah, padahal aku sangat tahu, ayah pasti mendengar aku menangis. Ahh! aku memang salah, tidak sepantasnya aku menangis. Harusnya aku tahan saja air mata ini. Perkataan tante sangat sederhana, mungkin juga benar. Aku yang harus mengoreksi diriku, jangan mudah tersinggungm jangan mudah memasukkan perkataan orang ke hati. Bunda hanya menatapku sebentar. Lalu hanya bertanya singkat pada adikku, mengapa aku menangis. Jelas, adikku tidak tahu apa-apa, sedari tadi dia berdiam diri di kamar.
Ahh! bunda, ternyata yang aku butuhkan saat ini adalah ucapan lembutmu, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, yang aku mau adalah bunda memelukku, dan menenangkanku. Tidak hanya bertanya sekilas, lalu membiarkanku menangis. Bunda, aku salah ya? Aku salah karena tidak langsung mengerjakan apa yang tante minta? Ayah, setidaknya ayah menengokku ke kemar, setidaknya ayah seperti yang kemarin, selalu menjadi penenang saat hatiku gundah, lalu aku mungkin akan berhenti menangis. Aku mengharapkan bunda dan ayah ada di sini, mengusir pikiran-pikiran yang menggangguku.
Ahh! ternyata memang benar. Hanya kita sendiri yang bisa menjamin kita baik-baik saja atau tidak, bukan orang lain. Mungkin mereka ada, tapi tidak selalu bersama kita. Aku akan lebih belajar lagi, untuk melatih hati ini agar lebih kuat, agar lebih mandiri, agar lebih fokus dengan hal-hal penting. Jadikan perkataan tante menjadi pelajaran, bahwa aku harus lebih rajin lagi dan mengontrol penggunaan ponsel. Jadikan hari ini pembelajaran, bahwa bunda dan ayah tentu mengharapkan anak yang kuat dan mendiri.
“Hanya diri kita sendiri yang bisa memastikan kita baik-baik saja atau tidak, ternyata mengharapkan orang lain untuk peduli dan memperhatikan itu akan berakhir kecewa. Kita perlu belajar mandiri, belajar kuat sendiri, belajar untuk mengemban beban sendiri, karena kita adalah milik kita, bukan orang lain,”
Author Profile
