DI RUANG GURU

kita duduk berdua saja
(tak ada Guevera)
juga kata-kata,
kita sama-sama tamu
(sejak kapan ada tuan rumah,
seperti itu matamu berkata
—atau yang dapat kueja dari sana)


lantas kita pun berkenalan
(tapi masih tanpa kata)

sedang di jendela,
gerimis pun enggan menyapa,
(kita sama-sama menatap ke luar jendela)
(di mana Sukarno melambai dalam mantel baja)


tapi tak ada Marx dan Engels di sini, tiba-tiba kau berkata.

Lombok Utara, 2015



MENTIGI SUATU SENJA

di pantai Mentigi itu, senja mengertap,
seperti juga gerimis tua yang retak, kaulekat kutatap
dari seluruh penjuru mata.
Aku seperti nelayan memasang jaring
menjerat tubuh molekmu yang ranum
di antara jeruji, puing kapal nelayan, dan tiang-tiang.
—dan tiba-tiba, sebuah pulau begitu saja tumbuh
dari pelupukmu –
dan kau balik mengintip
dari sela-sela pohon di pulau itu
—–seperti mengucap kata-kata selamat berpisah——
Mungkin di dasar laut
kau malah berpeluk dengan gugusan karang
: ketika kusadari diriku mengubur waktu di berugaq pinggiran Mentigi itu.

Pemenang- Lombok Utara, 2014

Berugaq: bangunan khas Sasak, berdinding kayu, atap ilalang.








PEJANGGIK

membacamu dalam babad Negarakatagama,
seperti pesiar-bekejaran-dengan waktu,

pundakku seperti ditepuk oleh sejarah,
yang sebentar singgah, antara dada hampa
dan takdir menerpa,

Sasak mirah adi,
demong alas yang culas,
arya bajar getas si pedas,

pejanggikku,
kupintal kembali sejarahmu, dalam bukuku,
seperti perawan Sukarara menenun Sesekan itu

Sesekan= kain khas Sasak
SENJA INI KUTULIS LAGI SEBUAH PUISI

kutulis lagi sebuah puisi,
—mungkin untukmu, mungkin juga bukan–
kata-kata memang punya banyak kemungkinan.
tapi dirimu, waktu, dan matamu, adalah
hari-hari yang tak mungkin kulupakan.
serupa nelayan, kujaring kata-kata dari
jejak kenangan –yang menghujam batas
impian dan kenyataan.
kepergianku, kutahu, melahirkan kesedihan
yang aneh; menempel di tiap helai rambutmu
saat tiap pagi, di balik pintu, kau renda tangismu.

akhirnya, senja ini:
kutulis lagi sebuah puisi
pasti untukmu, pasti untukmu
sebab waktu, diirmu, juga matamu itu,
adalah sajak abadi di hatiku.

Menjelang Magrib, Masjid Darussalam Kopang, 2015







Pulang

”abi pasti pulang,” kataku tiap pagi. Tapi
kubaca jelaga di matamu, dan kudengar sebait sendumu
di balik pintu. Mungkin jalanan kurang bersahabat,
mungkin pula cuaca mengertapkan nasib, yang telah
diretakkan waktu.

serasa maut itu, melirik manis di ujung gang tua
dan gigir subuh, menghela waktu
seperti menghela nasib ke jazirah lain

seperti menggulung kanvas kenangan,
kesenyapan dan kekelaman,

maut yang merindukan itu.



DAYAN GUNUNG
–puisi yg tak pernah selesai—

berjalan di tanahmu,
menyusuri pantaimu,
debur ombak; amis Bangsal, kota tuamu,
seperti mengejar jejak
juga derai cinta berdetak

berjalan di tanahmu,
menggamit peluh di dahi,
dan bahu.

memagi dalam riang embun,
kemboja pagi
mengurai hari-hari sekolah,
memanggul lelah,
seperti memanggul mimpi
tak sampai-sampai,

dayan gunung,
aku mencintaimu,
meski aku tak tau,
apakah dalam mulia ataukah
hina.
taukah engkau,
tak ada yg bisa pisahkan aku darimu
–juga maut itu

Karang Pangsor, Pemenang-Lombok Utara, 2015

Data Diri Penyair
Nama: M. Yasin
Alamat: PAUD IT QOLBUN SALIM, Gang Sengolong Dusun Paokmotong Selatan Desa Paok Motong Kec. Masbagik Lombok Timur NTB, Hp. 081916710721
Nomor Rekening: 4690-01-013192-53-6, Bank BRI a.n. M. Yasin
Akun FB: M Yasin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *